TULISKAN TEKS BERJALANNYA DISINI

Tradisi Setelah Kematian



Tradisi di Jawa dalam memperingati orang yang sudah meninggal
Banyak dijumpai disekitar masyarakat kita tradisi yang biasa dilakukan setelah ada orang yang meninggal, diantaranya : 
A.   7 Hari dan 40 Hari
Imam Ahmad ibn Hambal dalam kitab al-Zuhd menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari adalah perbuatan sunah, karena merupakan salah satu bentuk do’a dan pertolongan untuk mayit yang sedang diuji di dalam kubur selama 7 hari atau 40 hari.

قالَ طَاوُسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِىْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَيَّامِ

Artinya: Imam Thawus berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari dalam kubur mereka. Oleh karena itu ulama salaf mensunahkan bersedekah makanan (atas nama oraang yang meninggal dunia) pada hari-hari tersebut.”

وَعَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتَنُّ رَجُلاَنِ مَؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُّ سَبْعًا وَأَمَّا الْمُنَافِقُ فَيُفْتَنُّ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا

Artinya: Dari Ubaid ibn Umair, ia berkata: “Dua orang akan mendapatkan fitnah atau ujian, yaitu orang mukmin dan orang munafik. Orang mukmin mendapatkan fitnah selama 7 hari, sedangkan orang munafik mendapatkan fitnah selama 40 pagi (hari).”

Dalam menjelaskan dua Atsar tersebut, As-suyuthi menyatakan bahwa perawi Thawus (w. 110an H) termasuk kategori perawi Hadits-hadits Shahih. Thawus dikenal sebagai generasi pertama Ulama Yaman dan pemuka tabi'in yang sempat menjumpai 50 orang shahabat Nabi.

Sedang 'Ubaid bin 'Umair (w. 78 H) disini adalah al-Laitsi, seorang ahli mauidzah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin khatab RA. Menurut Imam Muslim, beliau dilahirkan di zaman Rasulullah saw. Bahkan menurut riwayat lain, beliau sempat melihat Rasulullah.

Perlu diketahui,dilihat dari dirayahnya bahwa tiap riwayat seorang Shahabat Nabi yang tak bisa di ijtihadi (ma ruwiya mimma la al-majal li ar-ra'yi fih) maka hukumnya Marfu' (riwayat sampai nabi), bukan mauquf (riwayat terhenti sampai shahabat). (Dikutip dari kitab ad-dur al-mantsur fi ta’wil bil ma’tsur karya Jalaludin As-Suyuthi)  

Masalah 7 hari ini, bahkan diperkuat oleh Syeh Nawawi al-Bantani dalam Nihayah az Zain-nya;

والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يُتقيد بكونه فى سبعة أيام أو أكثر أو أقل, والتقييد ببعض الأيام من العوائد فقط, فقد أفتى بذالك السيد أحمد دحلان: وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت فى ثالث من موته وفى سابع وفى تمام العشرين وفى الأربعين وفى المائة وبعد ذالك يفعل كل سنة حولاً فى يوم الموت, كما افاده شيخنا السنبلاويني

"Dan bersedekah untuk mayit dengan cara syar'i itu dianjurkan. Pelaksanaanya tak dibatasi 7 hari, lebih atau kurang. Pembatasan dengan hari-hari tertentu ini hanyalah tradisi ('awaid) saja. Sebagaimana fatwa sayid ahmad dahlan: "Telah berlaku tradisi masyarakat bersedekah dari mayit pada hari ke 3, 7, 20, 40 kematiannya. Setelah itu tiap tahun mereka menyelenggarakan haul yang bertepatan hari kematiannya". Seperti yang telah dikemukakan oleh guruku, as-Sunbulawini."

B.      Haul

Mengenai peringatan haul sebenarnya sudah diajarkan Rosululloh sebagaimana tersebut dalam hadits berikut:

حَدَّثَنَا الْوَاقِدِى قَالَ قَدْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُهُمْ فِى كُلِّ حَوْلٍ وَإِذَا تَفَوَّهَ الشِّعْبَ رَفَعَ صَوْتَهُ فَيَقُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَ الدَّارِ ثُمَّ أَبُوْ بَكْرٍ كُلَّ حَوْلٍ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانُ

Artinya: “Nabi saw menziarahi mereka (para syuhada yang gugur dalam perang Uhud) setiap tahun (haul), dan ketika Beliau sampai di bukit, Beliau mengeraskan suaranya seraya mengucapkan “Semoga keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan (surga) itu.” Kemudian Abu Bka ra melakukan hal yang serupa, kemudian Umar ibn Khattab ra, dan kemudian Utsman ibn Affan ra.” (HR. Al Baihaqi dalam kitab Syarah Ash-Shudur hal: 92)

C.      Nyatus dan Nyewu

Adapun peringatan 100 hari (nyatusi), dan 1000 hari (nyewu) adalah sebatas ritual tradisi saja, dan belum ditemukan dalil nash maupun fatwa ulama yang mendasri tradisi ini. Namun, bukan berarti tradisi ini tidak boleh dilaksanakan atau dilarang. Yang jelas, tradisi ini dinilai baik karena di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan yang positif seperti membaca Al Qur’an, dzikir, sholawat dan lain-lain. Apalagi bila dilengkapi dengan suatu pengajian (mauidloh hasanah) yang pastinya mengandung seruan-seruan kebaikan.

Kesimpulannya: Anjuran syara’ pada tradisi ini terletak pada amalan-amalan yang terkandung di dalamnya bukan wujud peringatan pada hari ke-100 atau ke-1000.

Post a Comment

Previous Post Next Post